Wednesday, November 26, 2008

DIALOG KIAI DAN IBLIS

KETIKA IBLIS MEMBENTANGKAN SAJADAH

Siang menjelang dzuhur, salah satu iblis ada di masjid. Kebetulan hari itu hari Jum'at, saat berkumpulnya orang. Iblis sudah ada dalam masjid. Ia tampak begitu khusyuk. Orang mulai berdatangan

Iblis menjelma menjadi ratusan bentuk & masuk dari segala penjuru, lewat jendela, pintu, ventilasi, atau masuk lewat lubang pembuangan air. Pada setiap orang, iblis juga masuk lewat telinga, ke dalam syaraf mata, ke dalam urat nadi, lalu menggerakkan denyut jantung setiap para jamaah yang hadir.

Iblis juga menempel di setiap sajadah. Terjadilah dialog antara Kiai dan iblis. "Hai, iblis!", panggil Kiai, ketika baru masuk ke masjid itu.

Iblis merasa terusik, "Kau kerjakan saja tugasmu, Kiai. Tidak perlu kau larang-larang saya. Ini hak saya untuk mengganggu setiap orang dalam masjid ini!", jawab iblis ketus.


"Ini rumah Allah, Blis! Tempat yang suci,Kalau kau mau ganggu, kau bisa diluar nanti!", Kiai mencoba mengusir.
"Kiai, hari ini, adalah hari uji coba sistem baru". Kiai tercenung.
"Saya sedang menerapkan cara baru, untuk menjerat kaummu"
"Dengan apa?"
"Dengan sajadah!"
"Apa yang bisa kau lakukan dengan sajadah, Wahai laknatullah?”
"Pertama, saya akan masuk ke setiap pemilik saham industri sajadah. Mereka akan saya jebak dengan mimpi untung besar. Sehingga, mereka akan tega memeras buruh untuk bekerja dengan upah di bawah UMR, demi keuntungan besar!"

"Ah, itu kan memang cara lama yang sering kau pakai. Tidak ada yang baru,Blis?"
"Bukan itu saja Kiai..."
"Lalu?"
"Saya juga akan masuk pada setiap desainer sajadah. Saya akan menumbuhkan gagasan, agar para desainer itu membuat sajadah yang lebar-lebar"
"Untuk apa?"
"Supaya, saya lebih berpeluang untuk menanamkan rasa egois di setiap kaum yang Kau pimpin, Kiai! Selain itu, saya akan lebih leluasa, masuk dalam barisan sholat. Dengan sajadah yang lebar maka barisan shaf akan renggang. Dan saya ada dalam kerenganggan itu. Di situ Saya bisa ikut membentangkan sajadah".

Dialog Iblis dan kiai sesaat terputus.

Dua orang datang, dan keduanya membentangkan sajadah. Keduanya berdampingan.
Salah satunya, memiliki sajadah yang lebar. Sementara, satu lagi, sajadahnya lebih kecil. Orang yang punya sajadah lebar seenaknya saja membentangkan sajadahnya, tanpa melihat kanan-kirinya. Sementara, orang yang punya sajadah lebih kecil, tidak enak hati jika harus mendesak jamaah lain yang sudah lebih dulu datang. Tanpa berpikir panjang, pemilik sajadah kecil membentangkan saja sajadahnya, sehingga sebagian sajadah yang lebar tertutupi sepertiganya. Keduanya masih melakukan sholat sunnah.
"Nah, lihat itu Kiai!", iblis memulai dialog lagi.
"Yang mana?"
"Ada dua orang yang sedang sholat sunnah itu. Mereka punya sajadah yang berbeda ukuran. Lihat sekarang, aku akan masuk diantara mereka".
Iblis lenyap.
Ia sudah masuk ke dalam barisan shaf. Kiai hanya memperhatikan kedua orang yang sedang melakukan sholat sunah. Kiai akan melihat kebenaran rencana yang dikatakan iblis sebelumnya.
Pemilik sajadah lebar, rukuk. Kemudian sujud. Tetapi, sembari bangun dari sujud, ia membuka sajadahya yang tertumpuk, lalu meletakkan sajadahnya di atas sajadah yang kecil. Hingga sajadah yang kecil kembali berada di bawahnya.

Ia kemudian berdiri. Sementara, pemilik sajadah yang lebih kecil, melakukan hal serupa. Ia juga membuka sajadahnya, karena sajadahnya ditumpuk oleh sajadah yang lebar. Itu berjalan sampai akhir sholat. Bahkan, pada saat sholat wajib juga, kejadian-kejadian itu beberapa kali terihat di beberapa masjid.
Orang lebih memilih menjadi di atas, ketimbang menerima di bawah. Di atas sajadah, orang sudah berebut kekuasaan atas lainnya. Siapa yang memiliki sajadah lebar, maka, ia akan meletakkan sajadahnya diatas sajadah yang kecil.
Sajadah sudah dijadikan Iblis sebagai pembedaan kelas. Pemilik sajadah lebar, diidentikkan sebagai para pemilik kekayaan, yang setiap saat harus lebih di atas dari pada yang lain.
Dan pemilik sajadah kecil, adalah kelas bawah yang setiap saat akan selalu menjadi sub-ordinat dari orang yang berkuasa. Di atas sajadah, Iblis telah mengajari orang supaya selalu menguasai orang lain.

"Astaghfirullahal adziiiim ", ujar sang Kiai pelan.

(source: bermacam-macam)
Selengkapnya...

Tuesday, November 18, 2008

SEANDAINYA AKU DIMAKAMKAN HARI INI .....

Perlahan, tubuhku ditutupi tanah,
perlahan, semua pergi meninggalkanku,
masih terdengar jelas langkah-langkah terakhir mereka,
aku sendirian, di tempat gelap yang tak pernah terbayang,
sendiri, menunggu keputusan...

Istri, belahan hati, belahan jiwa pun pergi,
Anak, yang di tubuhnya darahku mengalir, tak juga tinggal,
Apatah lagi sekedar tangan kanan, kawan dekat, rekan bisnis, atau orang-orang lain,
Aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka.

Istriku menangis, sangat pedih, aku pun demikian,
Anakku menangis, tak kalah sedih, dan aku juga,
Tangan kananku menghibur mereka,
kawan dekatku berkirim bunga dan ucapan,
tetapi aku tetap sendiri,
disini, menunggu perhitungan ...

Menyesal sudah tak mungkin,
Tobat tak lagi dianggap,
dan ma'af pun tak bakal didengar,
aku benar-benar harus sendiri...

Tuhanku, (entah dari mana kekuatan itu datang, setelah sekian lama aku tak lagi dekat dengan-Nya),
jika Kau beri aku satu lagi kesempatan,
jika Kau pinjamkan lagi beberapa hari milik-Mu,
beberapa hari saja...
Aku akan berkeliling, memohon ma'af pada mereka,
yang selama ini telah merasakan zalimku,
yang selama ini sengsara karena aku,
yang tertindas dalam kuasaku,
(ilma95) Selengkapnya...

Saturday, November 08, 2008

Relativitas Waktu

Kini, relativitas waktu adalah fakta yang terbukti secara ilmiah. Hal ini telah diungkapkan melalui teori relativitas waktu Einstein di tahun-tahun awal abad ke-20. Sebelumnya, manusia belumlah mengetahui bahwa waktu adalah sebuah konsep yang relatif, dan waktu dapat berubah tergantung keadaannya. Ilmuwan besar, Albert Einstein, secara terbuka membuktikan fakta ini dengan teori relativitas. Ia menjelaskan bahwa waktu ditentukan oleh massa dan kecepatan. Dalam sejarah manusia, tak seorang pun mampu mengungkapkan fakta ini dengan jelas sebelumnya.
Tapi ada perkecualian; Al Qur'an telah berisi informasi tentang waktu yang bersifat relatif! Sejumlah ayat yang mengulas hal ini berbunyi:
"Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu menurut perhitunganmu." (Al Qur'an, 22:47)
"Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu." (Al Qur'an, 32:5)
"Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun." (Al Qur'an, 70:4)
Dalam sejumlah ayat disebutkan bahwa manusia merasakan waktu secara berbeda, dan bahwa terkadang manusia dapat merasakan waktu sangat singkat sebagai sesuatu yang lama:
"Allah bertanya: 'Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?' Mereka menjawab: 'Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung.' Allah berfirman: 'Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui'." (Al Qur'an, 23:122-114)
Fakta bahwa relativitas waktu disebutkan dengan sangat jelas dalam Al Qur'an, yang mulai diturunkan pada tahun 610 M, adalah bukti lain bahwa Al Qur'an adalah Kitab Suci.(source : keajaiban quran ) Selengkapnya...

Tuesday, November 04, 2008

AKUNTANSI KEHIDUPAN


Kalau kita perhatikan dalam kehidupan kita, seringkali kita tidak obyektif dalam menghitung amal yang telah berlalu. Dalam pikiran kita yang muncul adalah banyaknya ibadah yang sudah kita lakukan. Shalat kita, puasa kita, bahkan sholat jamaah ke masjid, infaq yang sudah kita berikan atau mungkin tadarus Al Qur'an atau yang lain. Disini kita sering lupa mengabaikan hitungan dosa yang telah kita lakukan atau jumlah kewajiban yang sudah kita tinggalkan. Jika selama ini kita melakukan seperti itu, ada rasa bahwa seolah-olah pahala yang ada pada kita lebih banyak daripada dosanya. Sehingga merasa kurang berkepentingan untuk beristighfar, memohon ampunan Allah.
Mari kita coba merenung lebih dalam lagi, untuk menguji cara kita menghitung dosa, karena variabel inilah yang mungkin paling banyak diabaikan dalam menilai diri sendiri.
Jika kita berpikir telah menjauhkan diri dari dosa, adalah kita telah mengetahui bilangan pasti dari seluruh macam dosa ? Jujur saja rata-rata pengetahuan manusia tentang dosa masih terbatas, dan beberapanya masih terlalu global. Ada yang mengetahui riba itu dosa, tapi seperti apa praktik riba di jaman ini ? Bagaimana membedakan adat yang baik menurut syariat dengan adat yang syirik ? Atau bisa jadi sebagian atau sebagian besar masih samar dari pengetahuan kita.
Mungkin ada yang memberikan alasan, kita tidak dianggap berdosa karena belum tahu. Kalaupun alasan itu bisa diterima, tentu bukan dalam semua kasus. Kita harus jujur dalam mengukur, segigih apa usaha kita untuk mengetahui perkara-perkara yang haram itu? Keteledoran dalam mempelajari adalah dosa tersendiri. Abu Hurairah pernah ditanya seseorang, "Aku ingin mempelajari ilmu tapi khawatir kalau saya sudah tahu ilmunya lalu saya sia-siakan", beliau menjawab "cukuplah kamu dikatakan menyia-nyiakan ilmu jika kamu tidak mau belajar".

Disamping banyak perkara haram yang mungkin belum kita ketahui, banyak pula dosa yang sudah kita ketahui status haramnya, namun kita kadang terlena, terjerumus di dalamnya lantaran nafsu, terbujuk rayuan setan, kurang peka atau kadang untuk mendapatkan sekedar ridha orang lain. Berapa kali dalam sehari pandangan mata kita mendarat ke tempat haram, lalu kita menikmatinya. Begitupun dengan telinga, lebih-lebih lisan kita. Bisakah kita menghitung, berapa kali kita berdusta dalam hidup ini, atau berapa kali kita menggunjing teman-teman, saudara kita atau orang yang berada disekitar kita. Begitupun dengan dosa yang lain. Munmgkin hanya sedikit darinya yang masih ingat. Diantara yang kita ingatpun tidak selalu kita iringi dengan penyesalan dan istighfar. Sedangkan inti dari taubat adalah penyesalan. Kelalaian ini menuntut kita untuk istighfar, memohon ampunan Allah.(ar)

Selengkapnya...

sabily